Solusi Syar’i Transaksi Salam Secara Online

Para ulama sepakat, tidak sah hukum jual-beli jika pemilisitus tidak memiliki barang-barang yang ia tampilkan pada situsnya. Biasanya proses ini berlangsung seperti berikut: saat pembeli mengirim aplikasi permohonan barang, pemilik situs menghubungi pemilik barang tanpa melakukan akad jual-beli, sebatas konfirmasi keberadaan barang. Setelah ia meyakini keberadaan barang, ia lalu meminta pembeli mentransfer uang ke rekeningnya. Setelah uang ia terima, barulah ia membeli barang tersebut dan mengirimkannya ke pembeli, atau meminta pemilik barang mengirim langsung ke pembeli.

Akad jual-beli tersebut tidak sah karena ia menjual barang yang bukan miliknya. Akad ini mengandung unsur gharar, tersebab pada saat akad berlangsung, penjual belum dapat memastikan apakah barang dapat ia kirim ke pembeli atau tidak. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak kumiliki, apakah boleh aku menjualnya kemudian aku membeli barang yang diinginkannya dari pasar? Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Jangan engkau jual barang yang belum engkau miliki! (HR. Abu Daud. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani)

Solusi Syar’i

Agar jual-beli tersebut menjadi sah, pemilik situs dapat melakukan langkah-langkah berikut:
- Beritahu setiap calon pembeli bahwa penyediaan aplikasi permohonan barang bukan berarti ijab dari penjual (pemilik situs).

- Setelah calon pembeli mengisi aplikasi dan mengirimkannya, pemilik situs tidak boleh menerima langsung akad jual-beli. Akan tetapi ia beli terlebih dahulu barang tersebut dari pemilik barang sesungguhnya dan ia terima, kemudian baru ia jawab permohonan pembeli dan memintanya untuk mentransfer uang ke rekening miliknya. Lalu barang dikirimkan ke pembeli.

- Untuk menghindari kerugian akibat pembeli via internet menarik keinginannya untuk membeli selama masa tunggu, sebaiknya penjual di situs mensyaratkan kepada pemilik barang sesungguhnya bahwa ia berhak mengembalikan barang selama tiga hari sejak barang dibeli, ini yang dinamakan khiyar syarat.
Jika langkah-langkah tersebut diikuti, jual-belinya menjadi sah dan keuntungannya pun menjadi halal. Sebagian orang menawarkan solusi untuk pemilik situs yang belum memiliki barang dengan cara mengubah akad jual-beli menjadi akad salam. Salam adalah akad pemesanan barang, dengan uang dibayar tunai di muka dan barang nanti diserahkan setelah beberapa lama waktunya. Akad salam tersebut hukumnya disepakati boleh oleh seluruh ulama.

Hal tersebut berdasarkan hadis bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah dan beliau mendapati penduduk Madinah melakukan akad salam (dan barang diserahkan) setelah berlalu dua dan tiga tahun. Maka beliau bersabda, “Barang siapa yang melakukan transaksi salam hendaklah ditentukan berat serta ukuran barangnya dan waktu serah-terima barang juga jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pemilik situs membuat akad pemesanan dari pembeli kepadanya, dengan syarat uang dikirim tunai seluruhnya pada saat itu juga oleh pemesan, lalu pemilik situs mencari tahu di pasar apakah barang yang dipesan itu ada atau tidak. Jika ternyata ada, dia melakukan transaksi salam dengan pemesan (pengunjung situs). Setelah uang diterimanya, ia membeli barang yang dipesan lalu mengirimkannya kepada pemesan (pengunjung situs).

Tinjaun Fikih

Solusi ini didasarkan atas takhrij dari pendapat Mazhab Syafi’i yang membolehkan melakukan akad salam tunai dengan syarat barangnya ada di pasaran. Zakariya Al-Anshary berkata, “Akad salam tunai dibolehkan … akan tetapi jika barang yang dipesan tidak ada maka akad salamnya tidak sah.” (Asna al Mathalib, jilid II, hal. 124)
Para pendukung pendapat tersebut menafsirkan hadis yang melarang menjual barang yang tidak dimiliki bahwa maksud hadis tersebut adalah bahwa seorang menjual barang yang telah ditunjuk (barang yang itu), barang tersebut masih milik orang lain, kemudian dia membeli barang yang telah disepakati tadi dari pemiliknya, lalu dia menyerahkannya kepada pembeli.
Maka maksud hadis Hakim bin Hizam adalah “janganlah engkau menjual barang yang ditunjuk, padahal barang itu bukan milikmu!“ Menafsirkan hadis yang melarang menjual barang yang bukan miliknya dengan penafsiran tersebut tidaklah tepat. Karena Hakim bin Hizam tidak menjual barang yang telah ditunjuk (barang yang itu), karena tradisi yang berlaku saat itu tidak ada orang menjual bahan makanan dan kain dengan menunjuk bahan makanan dan kain milik orang lain. Akan tetapi dari konteks hadis tersebut jelas bahwa seseorang datang kepada Hakim dan ia menginginkan barang dengan spesifikasi tertentu (bahan makanan atau kain), lalu ia membuat akad jual-beli, kemudian ia mencari barang sesuai dengan spesifikasi yang diminta dan membelinya, lalu menyerahkannya kepada pembeli. Hal ini yang dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis Hakim bin Hizam. Larangan tersebut berarti larangan melakukan akad salam tunai. Maka salam tunai hukumnya tidak dibolehkan. Dan pendapat yang melarang akad salam tunai merupakan pendapat mayoritas para ulama dari Mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali. (Zaadul Ma’ad, jilid V, hal. 719)
Dan menurut Mazhab Hanbali bahwa jarak waktu antara akad salam dan penyerahan barang haruslah dalam waktu yang diperkirakan harganya berbeda. Karena maqshad (tujuan) akad salam, pembeli mendapat harga yang lebih murah, di mana ia telah menyerahkan uang tunai di muka dan barang akan diterimanya kemudian hari, dan dalam akad salam penjual mendapatkan dana segar untuk memenuhi kebutuhan usaha atau pribadinya. Maka, jika akad salam dilangsungkan dalam waktu yang tidak ada pengaruh terhadap harga barang hilanglah maqshad akad ini. (Al Mughni, jilid IV, hal 220)



Sumber artikel: Rubrik Fikih Kontemporer Majalah Pengusaha Muslim Edisi 31/September 2012

Hukum Jual Beli Online

Umumnya transaksi dilakukan dengan hadirnya dua orang yang mengadakan transaksi dan adanya kerelaan kedua belah pihak yang dibuktikan dengan ijab dari penjual dan qobul dari pembeli. Seiring perkembangan teknologi, terdapat beberapa alat yang bisa digunakan dari jarak jauh. Ada yang dengan suara melalui telepon atau dengan mengirimkan salinan surat perjanjian via faks atau dengan tulisan via internet. Apakah transaksi sah meski dua orang yang bertransaksi tidak berada dalam satu tempat? Apakah komunikasi yang dilakukan melalui piranti di atas sudah dinilai cukup?

Analog dengan Kasus di Masa Silam

Transaksi via tulisan (baca: faks atau internet) bisa dianalogkan dengan transaksi dengan tulisan yang ditujukan kepada orang yang tidak berada di majelis transaksi. Kasus semacam ini dibolehkan oleh mayoritas ulama karena adanya saling rela, meski kerelaan pihak kedua tidak langsung terwujud. Hal ini tidaklah masalah asalkan ada qobul (penyataan menerima dari pihak kedua) pada saat surat sampai kepada pihak kedua. Inilah pendapat mayoritas ulama. Tapi ada sebagian ulama Syafi’iyyah yang tidak membolehkannya.

Sedangkan transaksi via suara (baca:telepon) bisa dianalogkan dengan transaksi dengan cara saling berteriak dari jarak yang berjauhan. An Nawawi dalam al Majmu’ 9/181 mengatakan, “Andai ada dua orang yang saling berteriak dari kejauhan maka jual beli sah tanpa ada perselisihan”.
Para ulama mempersyaratkan adanya kesatuan majelis untuk selain transaksi hibah, wasiat dan mewakilkan.
Ijab dan qobul disyaratkan harus berturut-turut dan tolak ukur berturut-turut adalah kembali pada urf (kebiasaan masyarakat setempat). Menurut mayoritas ulama (selain Syafi’iyyah), qobul tidak diharus sesegera mungkin demi mencegah adanya pihak yang dirugikan dan supaya ada kesempatan untuk berpikir.
Jika ijab itu via surat maka disyaratkan adanya qobul dari pihak kedua pada saat surat sampai ke tangannya.
Demikian pula disyaratkan adanya kesesuaian antara ijab dan qobul serta tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa salah satu pihak yang bertransaksi membatalkan transaksi.
Menurut mayoritas ulama pihak yang mengeluarkan ijab (pihak pertama) boleh meralat ijabnya.

Pendapat Ulama Kontemporer

Banyak ulama kontemporer yang berpendapat bahwa transaksi dengan piranti-piranti modern adalah sah dengan syarat ada kejelasan dalam transaksi tersebut. Di antara mereka adalah Syeikh Muhammad Bakhit al Muthi’i, Mushthofa az Zarqa’, Wahbah Zuhaili dan Abdullah bin Mani’. Alasan beliau-beliau adalah sebagai berikut:

1. Berdasar pendapat banyak ulama di masa silam yang menyatakan sahnya transaksi via surat menyurat dan jika ijab (penyataan pihak pertama) adalah sah setelah sampainya surat ke tangan pihak kedua. Demikian pula mengingat sahnya transaksi dengan cara berteriak.

2. Yang dimaksud dengan disyaratkannya ‘kesatuan majelis transaksi’ adalah adanya suatu waktu yang pada saat itu dua orang yang mengadakan transaksi sibuk dengan masalah transaksi. Bukanlah yang dimaksudkan adalah adanya dua orang yang bertransaksi dalam satu tempat.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka majelis akad dalam pembicaraan via telepon adalah waktu komunikasi yang digunakan untuk membicarakan transaksi.
Jika transaksi dengan tulisan maka majelis transaksi adalah sampainya surat atau tulisan dari pihak pertama kepada pihak kedua. Jika qobul tertunda dengan pengertian ketika surat sampai belum ada qobul dari pihak kedua maka transaksi tidak sah.

Syeikh Muhammad Bakhit al Muthi’i ditanya tentang hukum mengadakan transaksi dengan telegram. Jawaban beliau, telegram itu seperti hukum surat menyurat. Cuma telegram itu lebih cepat. Akan tetapi mungkin saja terjadi kekeliruan. Oleh karena itu, ada keharusan untuk klarifikasi dengan sarana-sarana yang ada pada saat ini semisal telepon atau yang lainnya.
Semisal dengan telegram adalah faks.
Untuk sarana-sarana yang lain maka boleh jadi sama dengan telepon dan telegram dalam kecepatan dan kejelasan komunikasi atau lebih baik lagi. Jika sama maka hukumnya juga sama. Jika lebih baik maka tentu lebih layak untuk dibolehkan.
Majma’ Fiqhi Islami di Muktamarnya yang keenam di Jeddah juga menetapkan bolehnya mengadakan transaksi dengan alat-alat komunikasi modern. Transaksi ini dinilai sebagaimana transaksi dua orang yang berada dalam satu tempat asalkan syarat-syaratnya terpenuhi. Akan tetapi tidak diperbolehkan untuk menggunakan sarana-sarana ini itu transaksi sharf/penukaran mata uang karena dalam sharf disyaratkan serah terima secara langsung.

Demikian pula transaksi salam karena dalam transaksi salam modal harus segera diserahkan begitu setelah transaksi dilaksanakan.
Namun menurut Wahbah Zuhaili, jika terdapat serah terima mata uang dalam transaksi sharf dan modal dalam transaksi salam bisa diserahkan denga menggunakan sarana-sarana komunikasi modern tersebut maka transaksi sah dan hal ini adalah suatu hal yang memungkinkan untuk beberapa model transaksi yang baru.

Syarat yang ditetapkam Majma Fiqhi adalah sebagai berikut:

1. Adanya kejelasan tentang siapa pihak-pihak yang mengadakan transaksi supaya tidak ada salah sangka, kerancuan dan pemalsuan dari salah satu pihak atau dari pihak ketiga.

2. Bisa dipastikan bahwa alat-alat yang digunakan memang sedang dipakai oleh orang dimaksudkan. Sehingga semua perkataan dan pernyataan memang berasal dari orang yang diinginkan.

3. Pihak yang mengeluarkan ijab (pihak pertama, penjual atau semisalnya) tidak membatalkan transaksi sebelum sampainya qobul dari pihak kedua. Ketentuan ini berlaku untuk alat-alat yang menuntut adanya jeda untuk sampainya qobul.

4. Transaksi dengan alat-alat ini tidak menyebabkan tertundanya penyerahan salah satu dari dua mata uang yang ditukarkan karena dalam transaksi sharf/tukar menukar mata uang ada persyaratan bahwa dua mata uang yang dipertukarkan itu telah sama-sama diserahkan sebelum majelis transaksi bubar. Demikian juga tidak menyebabkan tertundanya penyerahan modal dalam transaksi salam karena dalam transaksi salam disyaratkan bahwa modal harus segera diserahkan.

5. Tidak sah akad nikah dengan alat-alat tersebut (hp, internet dll) karena adanya saksi adalah syarat sah akad nikah.
sumber : ustadzaris.com